Minggu, 18 November 2012

Resensi: "Sang Guru" karya Gerson Poyk

Dibalik Sosok Seorang Guru
Tahukah kalian bahwa seorang guru memiliki sebutan “ Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”?


Istilah tersebut diartikan bahwa guru adalah orang yang berjasa yang berperan mendidik disekolah tanpa mengharapkan atau meminta penghargaan dalam melaksanakan tugasnya. Ia ikhlas dan menerima mengajar dengan gaji yang tidak mencukupi kebutuhan hidup dalam sebulan.
Di zaman yang semakin susah ini, orang tidak akan mampu hidup hanya dengan pujian. Gelar “ Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” tidak mampu memberi hidup yang layak bagi mereka bahkan justru membebani. Selain mendapat sanjungan, pujian dan gelar, guru harus mendapatkan penghargaan atas jasa yang mereka perbuat.
Namun, gaji yang diterima tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga dalam sebulan. Akhirnya sang guru harus mencari akal dan memutar otak untuk menambah penghasilan selain gaji. Akibatnya  ada guru yang berprofesi ganda, pagi sebagai guru, sore sebagai tukang ojek, pedagang, petani, tukang becak, dll.
Di balik itu semua, guru memiliki harapan yang besar yaitu mengantar manusia-manusia menuju kepada keberhasilannya. Berkat tugasnya yang begitu mulia tersebut, para guru rela mengorbankan jerih payahnya.
Dalam novel ini Gerson Poyk (pengarang novel sang guru ) memaparkan sisi guru sebagai manusia ditengah-tengah kesibukanya sebagai pendidik. Fokus Gerson bukan pada proses mengajar dan belajar, melainkan pada pribadi guru.
Tema dalam novel Sang Guru adalah kesederhanaan hidup untuk mendapatkan kebahagiaan. Kesederhanaan hidup tercermin dalam kehidupan Ben sebagai tokoh utama. Ben dan ibunya bersedia tinggal di gudang sekolah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Ben harus meminjam uang dan makanan pada pesuruh sekolah. Kesederhanaan juga muncul pada diri Sofie istri Ben maupun tokoh yang lainnya. Kehidupan para tokoh berlatar tempat di Ternate dan Manado. Kota Ternate dan Manado sesuai dengan latar sosial novel Sang Guru. Novel ini berlatar pemberontakan RMS di Maluku dan Permesta di Sulawesi Utara. Kedua peristiwa tersebut berlangsung pada sekitar tahun 1956 sampai tahun 1961. Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur maju (progresif). Cerita dimulai sejak Ben tiba di Ternate dan berakhir di Manado ketika Ben menjadi tentara dan petani kopra.
Cerita dalam novel ini memberikan gambaran tentang kesederhanaan seorang guru yang membuahkan kebahagiaan dalam hidupnya. Ia rela menjadi guru walaupun hidup di gudang dengan gaji sedikit. Bahkan ia tidak mau dikatakan sebagai seorang pahlawan karena tujuan, kebahagiaan dan harapannya adalah ingin mendapatkan sesuap nasi untuk memberi makan pada ibunya yang sudah tua.
Cerita dalam novel ini disajikan dengan gaya yang memikat yang diisi dengan pembendaraan kata yang cukup banyak serta gaya bahasa yang menarik. Sehingga mampu menarik para pembaca untuk membacanya dan memahaminya.

By: Finu Diasfa