Takjubku
Kepada Senja
Tepat pukul 17.30 aku melihat keluar jendela, diiringi dengan angin semilir seolah berceramah sebagai penyejuk hati bagi insan yang merasakan kehadirannya. Tak terkecuali, ujung daun-daun pepohonan di halaman samping rumahku. Mereka berdangdut ria merasakan sepoinya sentuhan angin. Dari barat, ku lihat sang mentari hendak kembali ke ranjang empuknya dengan diikuti langit memerah yang lama-kelamaan berganti dengan kacamata hitam. Disinilah, pertemuan indah antara siang dengan panas mencekam dan malam yang sunyi dan sepi.
Senja ini, semuanya terlihat sibuk
dengan urusannya masing-masing. Dari kejauhan peternak bebek sedang menggiring
puluhan ternaknya kembali ke kandang untuk meninabobokan bebeknya. Di sisi
lain, kakekku mengajak lima ekor kambingnya ke tempat belakang singgasananya.
Burung pun juga pulang ke sarangnya di ranting pohon mangga depan rumahku
dengan lesu dan letih sehabis banting tulang. Dan kini, ia kembali ke pelukan
hangat keluarganya. Ibuku juga tidak mau kalah sibuknya dengan mereka. Beliau
mengangkat jemuran, kemudian menutup semua jendela yang masih menganga. Lalu,
ibu juga menyalakan lampu pada ruang tamu, halaman depan, dapur, dan kamar. Semua
sisi nampak terang bercahaya. Setelah itu, aku menutup kedua daun jendelaku ke
sisi dalam.
Tak lama kemudian, kami
berbondong-bondong ke surau untuk menghadiri panggilan undangan dari Allah. Di
sana, kami dijamu dengan milyaran hingga triliunan tiket permohonan doa untuk
diserahkan pada-Nya. Dan itulah aktivitas kami di kala senja menyapa.
Oleh: Finu Diasfa