Dini, suatu hal
yang tak pernah terlintas di benak ini. Suatu rupa yang mungkin terhapus dari
dalam memori yang berkapasitas tak berpenghuni dan sekali lagi yang teringat
hanyalah “Dini”. Gelap, hampa, sesak, dan serakah meracuni ingatanku.
Sepertinya tak pernah sedikitpun aku merasakan semua hal itu. Gelap. Ada apa
dengan kedua bola mata ini? Aku merasakan tiada keanehan yang terjadi pada
mereka. Lalu, mengapa “Dini” itu gelap? Hampa. Kapankah aku berkutat seorang
diri? Hari-hariku selalu ditemani oleh orang-orang terkasih. Mengapa harus ada
hampa pada si “Dini”? Sesak. Alhamdulillah, segala alat pernapasan mulai dari
hidung, faring, tenggorokan, bronkus, bronkiolus, bahkan alveolus di paru-paru
ini tak mengalami kejanggalan. Mereka melakukan tugas masing-masing dengan amat
baik. Justru, kejanggalan muncul bersamaan dengan kata “sesak” pada “Dini” itu.
Giliran serakah yang memperlihatkan taringnya. Apa lagi ini? Aku tak pernah
diajarkan untuk egois, merasa ingin berlebih atau rakus. Tetapi, entah mengapa
keserakahan mengusik keberadaan si “Dini”? Sungguh, aku menyangsikan sesuatu
yang terjadi pada si “Dini”. Namun, apa yang termaksud? Mengapa kini isi otak
ini tak bisa menunjukkan satupun wujud yang menghiasi “Dini” itu?
Tak berapa lama
kemudian, secercah cahaya muncul. Sinar yang begitu menyilaukan mata yang mulai
perlahan terbuka dengan sangat berat. Terdengar sayup-sayup suara yang berbunyi
“Allahu Akbar...Allahu Akbar...”. Benarkah? Kapan? Kapan aku memasangkan
telingaku untuk menjamah setiap not yang bersenandungkan angin berlirik “Allahu
Akbar” itu? Tuhan, mengapa bunyi yang kutangkap saat itu tidak tersimpan dalam
ingatan ini? Bahkan untuk cetak hitam memori itupun tak terbersit dalam
angan-anganku ini.
Tikk...tikk...tikk...
Terus ber’tikk’ setiap gerakan jarum tercepat pada si penentu waktu. Aku yang
baru menunaskan diri yang berbau kencur dua hari itu begitu manja dan tamak.
Aku memperagakan diri seolah seorang putri istana yang segala permintaannya
wajib dituruti. Tamaknya, aku selalu merebut apa yang telah menjadi nikmat dari
dua insan yang kulihat sejak masa diniku. Aku mengambil gizi makanan dari
seorang wanita pemilik gua garba yang kutempati sewaktu dini. Aku pun sering
menyakitinya dengan menggigiti tempat aku merampas nutrisi dari apa yang ia makan.
Aku juga suka mengambil alih jatah penghasilan seorang muadzin pertamaku untuk
diriku sendiri dan barangkali sudah puluhan bahkan ratusan ribu dari yang ia
dapatkan langsung melayang akibat mengikuti kebutuhanku. Rupanya, segala hiruk
pikuk udara yang mengelilingiku saat itu menjadi saksi aksiku yang merampas
kenikmatan dua korban perangaiku itu. Namun, mengapa aku... ya aku, sang
terdakwa, tak sedikitpun menahan otak ini sejenak untuk memperlihatkan masa
itu? Atau memang itu hanyalah pengutaraan peristiwa umum yang pasti dilakoni
oleh peran-peran seumuranku saat itu? Ahh, aku meyakini bahwa lepas ingatanku
demikian runcing.
Seiring
perjalanan siput yang melahap kecepatan larinya hingga 80.000 meter per jam,
aku mulai mengangkat badan, mengikuti lagak si meong, hingga saking penatnya
aku bersila sok manis sambil memandang sok tahu benda-benda di depanku yang tak
berlabel julukannya sendiri-sendiri. Lalu, aku pun bisa menjilati benda-benda
yang kupegang dan hebatnya pula aku pun merasa lihai mengendalikan kereta
jalanku. Di satu sisi, aku diajarkan menapakkan kaki yang berkulit rawan ke
atas lantai yang keras. Tak henti pula beberapa tangan mengulurkan dirinya
kepadaku ketika tubuh molek ini menimpa tanah. Kemudian, tangan itu pula yang
menghapus segala macam coretan yang menghiasi wajahku, baik itu derasnya air
mata, menetesnya air liur, menimbulnya kotoran mata bahkan bekas suapan bubur
yang tersisa yang mengelilingi bibir. Tangan-tangan itu juga yang menunjukkanku
deretan bentuk A, B, C, D, ..., X, Y, Z, 1, 2, 3, ..., 8, 9, dan 0 sehingga
kini aku bisa menuliskan kisahku bersama mereka ke dalam coretan kecil ini. Ya,
bayangan-bayangan itu mendadak tidak bertubuh hitam dan berdua dimensi lagi,
melainkan berwujud baik yang memorinya bisa terbaca oleh sang otak.
Naas, tiba-tiba
aku yang masih menggemaskan dan mengunyukan itu harus bergumul dengan
gerombolan kuman yang dengan bebasnya bermain di dalam tubuhku. Parasit itu
memasuki benteng pertahanan tubuhku silih berganti dan terus tanpa henti.
Namun, tanpa jeda pula, dua sosok pengulur tangan itu berusaha untuk
mencarikanku penguat benteng kekebalanku. Lalu, aku dipertemukan dengan banyak
orang berjas putih, bersenyum ramah dan berkalungkan sebuah kalung. Ah, bukan.
Itu bukan kalung. Itu adalah sebuah alat penyentuh dadaku. Aneh! Kuman-kuman
itu tidak menerobos dadaku, akan tetapi orang berjas putih itu selalu melakukan
tingkahnya itu setiap aku bertandang ke tempatnya. Ya, begitu sering aku
menghampirinya sehingga ia dapat mengetahui keluhan yang kualami. Sungguh
demikian istimewanya, dua sosok pengulur tangan itu tetap setia mendampingiku
bahkan mereka melelapkan tidur mereka di sampingku yang sedang berbaring.
Hmmm... sepertinya perlahan namun pasti bayangan-bayangan itu mulai menunjukkan
keberadaan nyatanya.
Masa sekolah
pun datang. Aku disibukkan dengan pernak-pernik seperti buku, seragam dan
alat-alat tulis yang tidak menelan biaya yang sedikit. Tak khayal jikalau aku
harus melihat sosok pejantan pemeran muadzin pertamaku harus membanting tulang
dan sering memeras keringatnya untuk memenuhi segala keperluanku. Aku juga
tidak jarang mengganggu waktu senggang wanita pemilik tangan halus dan
menghangatkanku itu untuk membantuku dalam belajar. Keduanya melakukan semua
itu tidak mustahil untukku, belahan jiwa mereka.
Akan tetapi,
apa yang kuperbuat kepada mereka kini? Ketika mereka sedang dikunjungi oleh
kuman-kuman, aku tidak berada di depan mereka untuk menahan kuman-kuman itu.
Saat mereka membutuhkan uluran tangan ini, malah tangan ini sedang menikmati
aktivitas lain yang lebih mengasyikan. Ketika mereka memerlukan secuwil
senyuman dariku, aku mempersembahkan kepenatanku yang luar biasa kepada mereka.
Atau pada sebuah kesempatan, mereka mempunyai keinginan untuk memiliki ini atau
itu, aku lebih memilih untuk menyembuhkan dahagaku sendiri akibat dari arus
gaya hidup dan modernisasi yang kian membahana.
Yaa... Ibu,
sosok pemilik gua garba dan tangan halus yang membelaiku itu dan Ayah, pejantan
tangguh yang menjadi muadzin pertama bagiku adalah emas murni di hidupku.
Walaupun mereka seolah terbuang oleh sikap-sikapku yang tidak pantas untuk
mereka dapatkan, namun kasih sayang mereka untukku akan tetap berkilauan. Ibu,
Ayah, mungkin sangat terlambat bahkan kata terlambat itu sudah tidak patut ada
untuk anak kalian ini. Jujur, ingin sekali mulut ini menyuarakan hati yang
mengobar-ngobarkan kata “Maaf” kepada kalian. Hasrat untuk bersimpuh di kedua
kaki kalian yang menggebu-nggebu ini sepertinya sudah tidak terelakkan. Namun,
lagi-lagi harga diri ini masih tetap harga mati yang belum bisa untuk ditawar.
Begitu sulit bagiku untuk mengucapkan sebuah kata “Maaf” atas jutaan bahkan
milyaran khilaf yang aku lakukan. Maaf, Ibu... Maaf, Ayah... Hanya melalui
coretan ini aku dapat memberanikan diri untuk mempersembahkan sebuah kata yang
selama ini terpendam dalam hati kecilku yang aku yakini balasan indah yang
nantinya kalian sampaikan kepadaku. Kata itu adalah “Maaf”.
***SELESAI***
Biodata
Penulis:
Aku terlahir dengan nama Firda Nurul
Diah Ashshoffa atau lebih dikenal dengan sebutan “Finu Diasfa” yang mulai
melihat dunia tepat di Mojokerto pada tanggal 20 Juli sekitar pukul 15.00 WIB,
sembilan belas tahun silam. Ketahuilah bahwa “Maaf” adalah sebuah kata
sederhana yang memiliki arti yang luar biasa. Salam kenal.
Facebook
ID : Firda Nurul Diah Ashshoffa
Twitter
ID : @finudiasfa
E-Mail : finudiasfa@gmail.com
Blog : finudiasfa.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar