Kamis, 22 Januari 2015

Coretan Berjuta Khilaf untuk Sebuah Maaf



Dini, suatu hal yang tak pernah terlintas di benak ini. Suatu rupa yang mungkin terhapus dari dalam memori yang berkapasitas tak berpenghuni dan sekali lagi yang teringat hanyalah “Dini”. Gelap, hampa, sesak, dan serakah meracuni ingatanku. Sepertinya tak pernah sedikitpun aku merasakan semua hal itu. Gelap. Ada apa dengan kedua bola mata ini? Aku merasakan tiada keanehan yang terjadi pada mereka. Lalu, mengapa “Dini” itu gelap? Hampa. Kapankah aku berkutat seorang diri? Hari-hariku selalu ditemani oleh orang-orang terkasih. Mengapa harus ada hampa pada si “Dini”? Sesak. Alhamdulillah, segala alat pernapasan mulai dari hidung, faring, tenggorokan, bronkus, bronkiolus, bahkan alveolus di paru-paru ini tak mengalami kejanggalan. Mereka melakukan tugas masing-masing dengan amat baik. Justru, kejanggalan muncul bersamaan dengan kata “sesak” pada “Dini” itu. Giliran serakah yang memperlihatkan taringnya. Apa lagi ini? Aku tak pernah diajarkan untuk egois, merasa ingin berlebih atau rakus. Tetapi, entah mengapa keserakahan mengusik keberadaan si “Dini”? Sungguh, aku menyangsikan sesuatu yang terjadi pada si “Dini”. Namun, apa yang termaksud? Mengapa kini isi otak ini tak bisa menunjukkan satupun wujud yang menghiasi “Dini” itu?
Tak berapa lama kemudian, secercah cahaya muncul. Sinar yang begitu menyilaukan mata yang mulai perlahan terbuka dengan sangat berat. Terdengar sayup-sayup suara yang berbunyi “Allahu Akbar...Allahu Akbar...”. Benarkah? Kapan? Kapan aku memasangkan telingaku untuk menjamah setiap not yang bersenandungkan angin berlirik “Allahu Akbar” itu? Tuhan, mengapa bunyi yang kutangkap saat itu tidak tersimpan dalam ingatan ini? Bahkan untuk cetak hitam memori itupun tak terbersit dalam angan-anganku ini.
Tikk...tikk...tikk... Terus ber’tikk’ setiap gerakan jarum tercepat pada si penentu waktu. Aku yang baru menunaskan diri yang berbau kencur dua hari itu begitu manja dan tamak. Aku memperagakan diri seolah seorang putri istana yang segala permintaannya wajib dituruti. Tamaknya, aku selalu merebut apa yang telah menjadi nikmat dari dua insan yang kulihat sejak masa diniku. Aku mengambil gizi makanan dari seorang wanita pemilik gua garba yang kutempati sewaktu dini. Aku pun sering menyakitinya dengan menggigiti tempat aku merampas nutrisi dari apa yang ia makan. Aku juga suka mengambil alih jatah penghasilan seorang muadzin pertamaku untuk diriku sendiri dan barangkali sudah puluhan bahkan ratusan ribu dari yang ia dapatkan langsung melayang akibat mengikuti kebutuhanku. Rupanya, segala hiruk pikuk udara yang mengelilingiku saat itu menjadi saksi aksiku yang merampas kenikmatan dua korban perangaiku itu. Namun, mengapa aku... ya aku, sang terdakwa, tak sedikitpun menahan otak ini sejenak untuk memperlihatkan masa itu? Atau memang itu hanyalah pengutaraan peristiwa umum yang pasti dilakoni oleh peran-peran seumuranku saat itu? Ahh, aku meyakini bahwa lepas ingatanku demikian runcing.
Seiring perjalanan siput yang melahap kecepatan larinya hingga 80.000 meter per jam, aku mulai mengangkat badan, mengikuti lagak si meong, hingga saking penatnya aku bersila sok manis sambil memandang sok tahu benda-benda di depanku yang tak berlabel julukannya sendiri-sendiri. Lalu, aku pun bisa menjilati benda-benda yang kupegang dan hebatnya pula aku pun merasa lihai mengendalikan kereta jalanku. Di satu sisi, aku diajarkan menapakkan kaki yang berkulit rawan ke atas lantai yang keras. Tak henti pula beberapa tangan mengulurkan dirinya kepadaku ketika tubuh molek ini menimpa tanah. Kemudian, tangan itu pula yang menghapus segala macam coretan yang menghiasi wajahku, baik itu derasnya air mata, menetesnya air liur, menimbulnya kotoran mata bahkan bekas suapan bubur yang tersisa yang mengelilingi bibir. Tangan-tangan itu juga yang menunjukkanku deretan bentuk A, B, C, D, ..., X, Y, Z, 1, 2, 3, ..., 8, 9, dan 0 sehingga kini aku bisa menuliskan kisahku bersama mereka ke dalam coretan kecil ini. Ya, bayangan-bayangan itu mendadak tidak bertubuh hitam dan berdua dimensi lagi, melainkan berwujud baik yang memorinya bisa terbaca oleh sang otak.
Naas, tiba-tiba aku yang masih menggemaskan dan mengunyukan itu harus bergumul dengan gerombolan kuman yang dengan bebasnya bermain di dalam tubuhku. Parasit itu memasuki benteng pertahanan tubuhku silih berganti dan terus tanpa henti. Namun, tanpa jeda pula, dua sosok pengulur tangan itu berusaha untuk mencarikanku penguat benteng kekebalanku. Lalu, aku dipertemukan dengan banyak orang berjas putih, bersenyum ramah dan berkalungkan sebuah kalung. Ah, bukan. Itu bukan kalung. Itu adalah sebuah alat penyentuh dadaku. Aneh! Kuman-kuman itu tidak menerobos dadaku, akan tetapi orang berjas putih itu selalu melakukan tingkahnya itu setiap aku bertandang ke tempatnya. Ya, begitu sering aku menghampirinya sehingga ia dapat mengetahui keluhan yang kualami. Sungguh demikian istimewanya, dua sosok pengulur tangan itu tetap setia mendampingiku bahkan mereka melelapkan tidur mereka di sampingku yang sedang berbaring. Hmmm... sepertinya perlahan namun pasti bayangan-bayangan itu mulai menunjukkan keberadaan nyatanya.
Masa sekolah pun datang. Aku disibukkan dengan pernak-pernik seperti buku, seragam dan alat-alat tulis yang tidak menelan biaya yang sedikit. Tak khayal jikalau aku harus melihat sosok pejantan pemeran muadzin pertamaku harus membanting tulang dan sering memeras keringatnya untuk memenuhi segala keperluanku. Aku juga tidak jarang mengganggu waktu senggang wanita pemilik tangan halus dan menghangatkanku itu untuk membantuku dalam belajar. Keduanya melakukan semua itu tidak mustahil untukku, belahan jiwa mereka.
Akan tetapi, apa yang kuperbuat kepada mereka kini? Ketika mereka sedang dikunjungi oleh kuman-kuman, aku tidak berada di depan mereka untuk menahan kuman-kuman itu. Saat mereka membutuhkan uluran tangan ini, malah tangan ini sedang menikmati aktivitas lain yang lebih mengasyikan. Ketika mereka memerlukan secuwil senyuman dariku, aku mempersembahkan kepenatanku yang luar biasa kepada mereka. Atau pada sebuah kesempatan, mereka mempunyai keinginan untuk memiliki ini atau itu, aku lebih memilih untuk menyembuhkan dahagaku sendiri akibat dari arus gaya hidup dan modernisasi yang kian membahana.
Yaa... Ibu, sosok pemilik gua garba dan tangan halus yang membelaiku itu dan Ayah, pejantan tangguh yang menjadi muadzin pertama bagiku adalah emas murni di hidupku. Walaupun mereka seolah terbuang oleh sikap-sikapku yang tidak pantas untuk mereka dapatkan, namun kasih sayang mereka untukku akan tetap berkilauan. Ibu, Ayah, mungkin sangat terlambat bahkan kata terlambat itu sudah tidak patut ada untuk anak kalian ini. Jujur, ingin sekali mulut ini menyuarakan hati yang mengobar-ngobarkan kata “Maaf” kepada kalian. Hasrat untuk bersimpuh di kedua kaki kalian yang menggebu-nggebu ini sepertinya sudah tidak terelakkan. Namun, lagi-lagi harga diri ini masih tetap harga mati yang belum bisa untuk ditawar. Begitu sulit bagiku untuk mengucapkan sebuah kata “Maaf” atas jutaan bahkan milyaran khilaf yang aku lakukan. Maaf, Ibu... Maaf, Ayah... Hanya melalui coretan ini aku dapat memberanikan diri untuk mempersembahkan sebuah kata yang selama ini terpendam dalam hati kecilku yang aku yakini balasan indah yang nantinya kalian sampaikan kepadaku. Kata itu adalah “Maaf”.

***SELESAI***


Biodata Penulis:
Aku terlahir dengan nama Firda Nurul Diah Ashshoffa atau lebih dikenal dengan sebutan “Finu Diasfa” yang mulai melihat dunia tepat di Mojokerto pada tanggal 20 Juli sekitar pukul 15.00 WIB, sembilan belas tahun silam. Ketahuilah bahwa “Maaf” adalah sebuah kata sederhana yang memiliki arti yang luar biasa. Salam kenal.

Facebook ID   : Firda Nurul Diah Ashshoffa
Twitter ID       : @finudiasfa
E-Mail             : finudiasfa@gmail.com
Blog                : finudiasfa.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar