Kutelan Obat Canduku
Dari biasa menjadi lebih biasa. Hidupku semakin
monoton hingga detik dimana aku ingin menarikan penaku di atas beberapa carik
kertas bergaris nila dengan jumlah dua puluh lima baris untuk satu sisinya.
Masa demi masaku terlewati bersama ratusan bahkan ribuan butir pil kaplet yang
tersimpan rapi di laci meja belajar. Bungkusnya berceceran di dalam tong sampah
biru mungil di sudut kamarku hingga membuatku sulit untuk menghitung berapa pil
yang telah mampir di ginjalku.
Tak tahu sampai kapan raga ini kuat ditegakkan
oleh-Nya. Setiap fajar dan senja tak henti-hentinya terdengar nyaring
suara-suara bersahutan, “Minum aku, minum aku. Jika tak, Tuhan ambil kamu”.
Adegan itu berulang setiap “tik” tempo jam dinding yang bertengger di sampingku
kini. Tik...tik...tik... Begitu seterusnya, tiada tahu batasnya.
Suatu malam yang kehilangan kesunyiannya,
kudengar tak riuh suatu pertunjukan di sebuah ruangan yang senantiasa
disaksikan oleh partikel-partikel oksigen dan karbondioksida di sekitarku dan
orang tuaku yang begitu memasang ketegangan. Sesosok berputih dari kemeja
hingga ke ujung atas tiba-tiba mencapku sebagai pemilik benalu yang dipahami
benar oleh Mbah Google dengan serentetan huruf “penyakit mematikan” yang
terketik pada halaman pertama pilihan selancar ketiga. Sontak tak percaya, dada
diri berdegup sekali dengan begitu keras. Pantas, keluarnya makhluk merah dari
tempat cakapku, nongolnya gunduk daging di leher sisi kiri, hingga senandung
salakan yang menambah semburat keramaian ketika kuterlelap itu tak lain
merupakan bagian dari skenario Tuhan untuk ditebak misteri-Nya. Alhasil, benar
adanya benalu itu membangun sarang di dalam tubuhku.
“Tak apa-apa, Dik. Jangan khawatir. Beruntung
kamu diketahui akarnya. Lihat anak yang baru saja keluar! Dia juga satu rasa.
Namun, dia terlambat diacuhkan hingga di saat dia sudah tak berdaya lagi,”
ungkap sosok berputih itu yang sedikit membocorkan rahasia remaja laki-laki
yang digendong ayahandanya keluar bilik sepuluh menit silam.
“Lalu, usaha apa yang harus kami jalani, Dok?”
tanya ayah.
“Cukup dengan pasang perhatian Bapak dan Ibu
kepada Adik untuk bersedia minum obat ini selama satu tahun tanpa putus jikalau
ingin sembuh total,” katanya lagi sambil menyodorkan kertas putih yang
tercorat-coret dengan dua merk obat yang bertumpu padanya.
Begitulah hari-hariku berjalan layak cucian tak
berguna bin sia-sia yang jikalau dicuci tak basah dan ketika dijemur tak juga
kering. Sepanjang hari, wajahku dituntut untuk menempelkan mimik titik dua buka
kurung. Dunia seolah menyorot diri ini sebagai pemenang penghargaan penderitaan
terbaik pada masa ini.
*****
Suatu malam bertabur siraman nasihat dimulai.
“Sabar, nak. Jalani setiap hiruk pikuk
lalu lintasnya hidupmu dengan penuh semangat. Ingat, Tuhan sayang kamu, nak.
Ibu percaya triliunan persen bahwa Tuhan memiliki rencana terbaik untukmu.
Berjuang, ya!” seru pribadi nomor satu yang sangat berjasa dalam hidupku hingga
membuatku bisa melewati semua ini walaupun sebenarnya hanya dengan secuwil asa.
Kemarin, hari ini, besok dan besoknya lagi, aku
tak boleh jera menelan obat canduku yang teryakini khasiatnya. Obat yang akan
melenyapkan kesakauanku dari tungku penderitaanku.
“Tuhan, mohon lepaskan semua cobaan dan
penderitaan ini. Tuhan, beri aku kekuatan untuk bisa menghadapi ini,” pintaku
setiap kusentuhkan pangkal hidungku ke permadani suciku.
Aku juga tak lupa mencoba berhubungan dengan
waktu. Tak tahu label apa status hubungan kami. Berpacarankah? Bertunangan atau
menikahkah? Entahlah. Namun, aku berharap bisa membuatnya mengikutiku kemanapun
langkahku berpijak.
*****
Ucapan ibu tempo bulan, kini merujuk pada
fakta. Seusai menghabiskan 31.536.000 detik, impianku kini tersemat lima senti
dari depan keningku. Mimpi yang menyatakan bahwa akhir episode ini, aku akan
bercakap “Alhamdulillah” dengan dipatenkan aku terbebas dari penumpang parasit
pada organ tubuhku hingga kulantunkan lagi ucapan syukur kepada Tuhan dan
memahami benar bahwa cumbu mesra-Nya adalah obat mujarab bagiku.
“Oh, tidak. Berapa lama aku telah
menghabiskan waktuku tadi? Ayo, Nisa, buat cerpenmu sekarang!” ujarku
menyemangati diri sendiri dalam hati yang damai dengan suasana yang tenang.
“Ahaaa.” Akhirnya penaku berpatas
merealisasikan apa yang terlintas di pikiranku malam ini.
***SELESAI***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar