Asmara : Buat Cancer yang lagi single mulai merasakan
keraguan lagi. Jangan keburu mundur, karena mungkin memang Anda terlalu terpaku
pada masa lalu. Rasa takut dan trauma itu sulit untuk Anda lupakan, tetapi
jangan sampai membuat Anda jadi ingin sendiri selamanya.
“maksudnya apa nih? Kenapa ramalan ini bisa tahu apa yang aku
rasakan?” kagetku sampai mendepak genggaman tanganku pada meja kayu di depanku.
Begitu kesan pertamaku saat membaca sebuah majalah sekolah.
Hmmm, sangat mengagetkan bukan main. Tepat pada halaman 49, tiba-tiba aku
terpaku oleh ketajaman sekumpulan kata yang bertindas hitam beralaskan merah
jambu yang seakan menghipnotisku dan membawaku ke alam masa laluku. Memori
semanis madu lebah yang berujung pada kepahitan empedu cinta.
Yups! Saat ini aku sedang merasakan dilema akut. Dilema yang
berpangkal tercabiknya jantung hati ini berawal dari berpalingnya cinta
pertamaku dengan prey yang lain hingga membuatnya mengakhiri simbiosis ini.
Sosok penyemangat hidupku itu telah memutuskan rantai percintaanku bersamanya.
Sehingga timbul sesuatu di benakku yang membuatku berpikir kalau aku hidup
hanya menjadi benalu untuk orang lain bahkan konsumen pertama yang melahap
hatiku pun ikut menjauh dariku.
Setiap saat kumerenung dan membayangkan ada sebuah keajaiban
alat pemutar waktu untuk mengembalikan masa-masa indahku bersamanya. Tapi,
impian itu berhenti semenjak aku melakukan supinasi untuk menerima hasil
ulanganku yang tiba-tiba mendepres drastis. Itu semua membuat lengan tanganku
berkontraksi, kedua tanganku mengepal dan hatiku berteriak menggelegar, “Aku
harus bisa melupakan dia, TITIK!” Siang malam aku berdoa dan berharap semoga
Allah mendengarkan misiku dan menuntunku sesuai dengan keinginan hati-Nya.
Pada Jumat siang dengan sengatan matahari yang terhalang oleh
awan bercorak hitam, aku bersama beberapa temanku mengikuti pembinaan biologi
di sekolah. Disana, kami dihadapkan dengan sebuah studi kasus biologi tentang Plant
Kingdom.
“Anak-anak, Bapak punya satu studi kasus seperti ini.
Misalkan suatu hari kalian berjalan-jalan ke pegunungan dan dalam perjalanan
kalian melihat satu spesies tumbuhan yang belum pernah kalian lihat. Kalian
meyakininya tumbuhan itu tergolong Angiospermae. Tapi guru kalian menyatakannya
Gymnospermae. Lalu, bagaimana cara kalian untuk menguatkan pendapat kalian
tentang hal itu?” ungkap Pak Budi, Guru Biologi yang mengajar kami.
Aku berfikir sejenak lalu salah seorang peserta pembinaan
mengacungkan telunjuk tangan kanannya.
“Saya, Pak,” tegasnya dengan penuh keberanian.
“Iya, kamu Bobby,” sahut Pak Budi.
“Dilihat dari bijinya, Pak. Kalau Angiospermae berbiji
tertutup sedangkan Gymnospermae berbiji terbuka,” jelas Bobby.
“Bagus. Ada yang mau menambah? Hmm, kalau menurut kamu
bagaimana, Bel?” tanya Pak Budi merangsangku.
“Hmmm, menurut saya tumbuhan tersebut bisa dilihat dari
bunganya, Pak. Pada Angiospermae memiliki bunga sempurna. Ada benang sari dan
putiknya. Sedangkan Gymnospermae memiliki bunga tidak sempurna atau berbentuk
stobilus,” uraiku.
Bobby menyanggah dengan nada menjatuhkan pendapatku,
“Terbentuknya organisme tumbuhan berawal dari biji. Jadi, sudah jelas dan lebih
akurat jika dlihat dari bijinya.”
“Hmmm, kamu lupa? Terbentuknya biji berawal dari proses
pembuahan oleh benang sari dan putik yang diawali dengan penyerbukan bunga.
Jadi, biji berawal dari bunga. Jelas lebih mudah dideteksi pada bunganya,”
sambungku membalikkan keadaan.
“Lalu, setelah biji terbentuk, si bunga akan layu dan gugur. Jadi,
bisa saja bukti yang ada hanya biji yang masih menempel pada tangkai bunga,”
balas Bobby.
“Walaupun layu dan gugur, itu masih bisa diidentifikasi.
Karena struktur bunga tidak berubah. Kecuali kalau benang sari dan putiknya
dipetik,” tambahku.
Seisi ruangan layaknya bergema mendengar aku dan Bobby adu
mulut. Lalu, Pak Budi menatapkan kedua telapak tangannya berkali-kali dan
berucap, “Bobby, Belinda, pendapat kalian berdua bagus. Bapak senang melihat
kalian dapat menguatkan pendapat kalian masing-masing. Bapak putuskan kalian
yang mewakili sekolah dalam Olimpiade Biologi tingkat propinsi.”
“Apa? Jadi, dari tadi aku dan Bobby diadu oleh Pak Budi,” kesalku
dalam hati kecilku.
“Apa, Pak? Partner sama dia. Brrr... males banget,” respon
Bobby.
“Siapa juga yang mau pasangan sama kamu?”sindirku.
“Jangan seperti itu, Bobby, Belinda. Ini demi sekolah. Bapak
mohon kalian mau bekerja sama,” pinta Pak Budi.
“Iya, Pak,” jawabku bersama Bobby serentak dengan wajah
sebal.
Semenjak kejadian itu, aku mencap Bobby sebagai sosok cowok
yang paling menyebalkan di dunia ini. Setiap aku bertemu dengannya, semua
temanku mendapatkan hiburan gratis kartun “Tom and Jerry” yang nyata dan tidak
ada rekayasa.
“The lesson ended for today. See you tomorrow morning with a
new learn spirit. Take care on the way home and have a nice day”. Bel pulang
sekolah berbunyi. Anak-anak berlalu lalang hendak pulang dengan wajah ceria
sambil bersenda gurau. Seperti biasanya, aku menunggu jemputan orang tuaku di
halte depan sekolah. Tapi, hingga satu jam kemudian, tak nampak batang hidung
ibu atau pun ayahku. Wajah lelah yang tersirat dari sosokku saat ini. Eitz,
tiba-tiba ada motor yang menghampiriku
dan pemiliknya berkata, “Ayo cepat naik, aku anterin kamu pulang”
“Apa? Bobby? Mimpi apa aku semalam? Perasaan aku mimpi
diajarin sistem Binomial Nomenklatur sama Carolus Linnaeus. Kenapa bisa Bobby
yang datang? Pake nawarin ngantar pulang lagi. Huuft, aneh,” bisikku dalam
hati.
“Ayo, pake mikir lagi. Cepetan!” paksanya.
“Okelah, kalau kamu maksa,” jawabku sok jual mahal.
Akhirnya, aku pun mau dibonceng Bobby. Di tengah perjalanan,
kami mendengar suara adzan Sholat Ashar. Tiba-tiba motor yang aku tumpangi
berhenti di depan masjid. Bobby pun berkata, “Ayo sholat dulu.”
“Subhanallah, Bobby sealim itu. Baik pula sama aku.” Hatiku
bersenandung tanda tersentuh.
Aku pun segera menginjakkan jari-jari kaki mungil ini ke
tempat wudhu wanita. Setelah itu, aku langsung menunaikan Sholat Ashar.
Kemudian, perjalanan pulang kembali dilanjutkan. Sesampainya di depan pagar
rumahku, aku pun langsung turun. Saat mulutku hendak membuka ucapan terima
kasih, Bobby sudah nge-gas kencang. “Beuuh, ya sudah, besok aja kalau ketemu,”
pikirku.
Lalu, aku langsung terjun ke kamar mandi. Maklum, aku merasa
kantung kemihku sudah penuh. Jadi, hasrat untuk buang air kecil harus dipenuhi
biar tidak mengalami ISK (Infeksi Saluran Kemih) atau lebih populer di telinga
kita yaitu penyakit Anyang-anyangan. Lalu, akupun berfikir tentang keanehan
yang terjadi pada organisme yang bernama latin Bobby Ferdiansyah itu. Sungguh,
sesuatu yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Hmmm, timbul sedikit rasa
sukaku kepada Bobby.
Keesokan harinya, aku memandang sesosok individu aneh itu di
halaman belakang sekolah. Aku mendapatinya sedang asyik menggoreskan pensil HB
di atas kertas hampa. Lalu, aku mengeluarkan sesuatu dari mulutku hingga pita
suaraku bergetar. Dengan basa-basinya, aku menyapanya dan mengucapkan terima
kasih atas kebaikannya kepadaku kemarin. Tapi, apa responnya? Bobby berlagak
diam tanpa kata dan makin menikmati tarian pensil HBnya. Saking kesalnya, aku
langsung menyambar kertas yang ia pegang. Anehnya lagi, Bobby malah membentakku
dan mengusirku.
Dengan tampang menciutkan mulut, aku pun membalikkan badan.
Tapi, peristiwa apa yang terjadi setelah itu? Tak diduga dan tak disangka,
untuk kali pertamanya aku mendengar tangisan seorang Bobby. Ia pun bergumam,
“Enak tidak jadi anak yang bebas dan bisa melakukan apa saja yang kamu mau?”
tanyanya pada Belinda yang manis dan cantik ini.
“Mengapa kamu tanya seperti itu?” sambungku sambil
menghampiri Bobby karena pertanyaannya yang menarik itu.
“Apa aku salah jika punya pendapat sendiri tentang masa
depanku? Apa aku salah jika aku tidak menuruti apa kemauan ibu dan ayahku?”
tanyanya balik dengan mata berkaca-kaca.
“Hmmm, entahlah. Aku belum pernah mengalami situasi seperti
itu. Karena orang tuaku tak pernah memaksaku ini itu. Mereka sibuk dengan
urusan mereka masing-masing,” jelasku sedikit curcol.
“Pasti seru jadi kamu. Setiap hari terbebas dari kecaman ayah
kamu. Sedangkan aku, ayah selalu memaksaku untuk bisa jadi dokter seperti beliau.
Jadi, atas dasar itu aku terpaksa masuk dalam pembinaan biologi dan aku harus
sukses di mata pelajaran itu. Padahal, kalau boleh jujur aku ingin sekali
mendalami bakat seni yang sangat aku gandrungi selama ini , walaupun dengan
cara sembunyi-sembunyi seperti ini,” urainya padaku.
“Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Kalau saran aku, kamu
sebaiknya jujur sama ayah kamu dan jadilah diri sendiri. Karena cuma kamu yang
lebih tahu tentang diri kamu. Oke! Yang sabar ya, Bob!” simpatiku pada Bobby.
“Ya, makasih ya, Bel,” ucap Bobby sambil memaksakan diri
untuk mengeluarkan satu senyuman yang ia miliki.
Semenjak peristiwa berbagi kisah itu, aku semakin dekat
dengan Bobby. Mulai dari belajar Biologi sampai aku dengannya dihadapkan dengan
Olimpiade Biologi tingkat propinsi. Olimpiade berpasangan ini diikuti oleh SMA
seantero Propinsi Jawa Timur. Alhamdulillah, aku dan Bobby lolos babak
penyisihan sampai semifinal. Di babak final, aku dan Bobby harus berkompetisi
dengan SMA RSBI terbeken di Propinsi Jawa Timur. Rasa deg-degan itu pun muncul
tapi keberadaan Bobby selalu membuatku optimis. Terima kasih ya, Bob.
Akhirnya, masa yang ditunggu-tunggu terjadi juga. Dewan juri memutuskan
kalau pemenangnya adalah lawan petarung dari aku dan Bobby. Huuft, tak apalah.
Yang terpenting, kami pulang membawa piala dan uang pula, walaupun hanya juara
II. Namun, hal itu adalah mimpi terburuk untuk Bobby. Pantas saja. Setelah
menerima piala dan sejumlah uang tunai, ayah Bobby langsung menemuinya dengan
ekspresi merah berapi-api dengan kedua tangan mencengkeram pinggang serta kedua
alis dielevatorkan. Beliau sangat kecewa dan memarahi Bobby habis-habisan di
depan umum. Aku pun tak tega melihat mimik Bobby. Tanpa sadar aku menapakkan
kedua kakiku di tempat Bobby dan ayahnya berada. Bibirku pun beradu dengan
bibir anak dan ayah itu. Tapi, belum tuntas aku menjelaskan yang
sejelas-jelasnya, ibuku langsung menarik tanganku dan menggeretku keluar dari
peperangan sampai titik darah penghabisan itu dimana aku tahu siapa nantinya
yang akan menjadi korban. Ibuku berkata kalau aku tidak pantas mencampuri
urusan orang lain. Memalukan dan takut dipandang sebelah mata oleh mereka.
Hmmm, aku hanya bisa bergumam dalam hati, “Yang sabar ya, Bob. Maaf aku tidak
bisa membantu kamu.”
Hari berikutnya, aku berjumpa dengan Bobby. Namun, dia tak
melirikku sedikit pun. Dia membenciku karena aku terlalu masuk dalam
urusan keluarganya. Dia memutuskan untuk
tidak mau berteman lagi dengan aku. Ouw, sungguh malang nasibku. Orang-orang
yang aku sayang semuanya membenciku. Hal itu adalah hal yang sangat membebani
batin dan pikiranku. Hingga membuatku sakit dan harus merawat inapkan diriku di
rumah sakit.
Ternyata dunia begitu sempit. Sampai-sampai dokter yang
menanganiku adalah Pak Beni, ayah Bobby. Hmmm, Aku yakin aku bisa menyelesaikan
pertikaian yang terjadi tempo kemarin. Mungkin ini adalah kesempatan yang
diberikan oleh Allah untukku. Jadi, aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku di
sini. Aku harus menuntaskan misiku untuk membantu Bobby.
“Pak Beni,” sapaku.
“Iya. Kamu Belinda kan? Partnernya Bobby waktu olimpiade,”
jawab Pak Beni.
“Iya, Pak. Oh ya, bagaimana keadaan saya, Pak? Saya sakit
apa?” tanyaku.
“Kamu hanya kecapekan, Bel. Mungkin terlalu banyak pikiran
akhir-akhir ini. Benar, Bel?” kata Pak Beni.
“Iya, Pak. Oh ya, bolehkah saya berbicara sesuatu ke Pak
Beni?” tanyaku dengan sedikit gugup.
“Boleh. Silahkan!” ungkap Pak Beni.
“Sebelumnya saya minta maaf jika saya lancang kepada Bapak. Saya
ingin meluruskan masalah Bapak dan Bobby. Jujur, saya ingin sekali melihat
sahabat saya hidup dalam kebebasan. Dia memiliki bakat yang sangat luar biasa,
Pak. Dia memiliki kreativitas yang tinggi. Mungkin dia bisa menjadi seorang
arsitek profesional nantinya. Hasil kreasinya sangat memuaskan. Pak Beni boleh
mempunyai harapan supaya Bobby bisa meneruskan cita-cita Bapak. Tapi Bapak juga
harus mengerti keinginan Bobby. Bobby merasa tertekan dengan apa yang Bapak
inginkan. Saya ingin Bobby bisa melakukan apa saja yang dia mau. Bapak hanya
tinggal mengawasi apa yang Bobby lakukan. Tidak harus terlalu masuk dalam
urusan pribadinya. Saya harap Bapak dapat mencerna kata-kata dari saya,” uraiku
“Terima kasih atas masukannya, Bel. Insya Allah Bapak akan
berpikir lagi tentang hal ini. Ya sudah Bapak tinggal dulu. Selamat
beristirahat dan jangan lupa obatnya diminum,” saran Pak Beni sambil
tergesa-gesa keluar dari kamar opnameku dengan mata berkaca-kaca.
Ternyata tutur kataku dapat menyadarkan Pak Beni akan
kekeliruannya selama ini. Beliau pun segera pulang dan memeluk Bobby
seerat-eratnya. Beliau berucap, “Bobby, maafkan ayah. Ayah sadar kalau selama
ini ayah terlalu memaksakan kehendak ayah padamu. Maafkan ayah juga karena
membuatmu malu di depan semua orang. Maafkan ayah, Bob. Ayah janji akan
mendukung keinginanmu 100%.”
Dengan ekspresi bingung yang diimbangi dengan hati
berbunga-bunga, Bobby mengungkapkan, “Terima kasih, Ayah. Bobby janji tidak
akan mengecewakan ayah.”
“Bagus. Itu baru anak ayah. Kamu beruntung punya teman yang
sangat baik seperti Belinda. Dia sangat perhatian sama kamu.” Ungkap Pak Beni.
“Apa? Belinda? Maksud ayah?” tanya Bobby penuh tanda tanya.
“Iya. Belinda yang sudah menyadarkan ayah. Dia sangat baik,
bukan? Pokoknya, kamu harus berterima kasih padanya. Tapi sekarang dia sedang
di rawat di rumah sakit tempat ayah bekerja. Besok ayah akan mengajakmu untuk
menjenguknya,” jelas Pak Beni.
Lima belas jam kemudian, Bobby dan Pak Beni tengah berada di
ruang rawatku. Mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih atas keberanianku
dalam mengungkapkan kebenaran yang aku tahu. Aku pun sangat bahagia melihat
keharmonisan dari keduanya. Di saat yang bersamaan, kedua orang tuaku
bertengger di depan pintu. Mereka pun langsung mengarah kepadaku dan
mengkhawatirkan keadaanku. Pak Beni kemudian bercerita dan memujiku dengan
banyak kata sehingga membuat ayah dan ibuku tersentuh dan minta maaf padaku
karena selama ini mereka kurang memperhatikan aku.
Cukup sudah kebahagiaanku saat ini. Aku sangat bersyukur
karena aku bisa menjadi orang yang berguna bagi orang-orang di sekitarku. Aku
juga bangga memiliki keberanian yang super dalam memberantas ketidakadilan.
Hehehe, narsis dikit.
Semakin hari kesehatanku berangsur pulih dan aku bisa menimba
lagi berember-ember ilmu di sekolah. Tak jarang juga aku melihat senyuman dan
candaan Bobby yang dilontarkan kepadaku. Aku semakin lengket dengannya hingga
suatu hari tanpa diduga seorang Bobby mengungkapkan sebuah perasaan sayangnya
padaku. Tahu tidak apa yang dia lakukan? Pastinya udah hafalkan maksudnya?
Bobby nembak si cewek imut, Belinda ini. Waoow, gimana ya? Bimbang deh. Ingin
rasanya aku menerima karena aku setali tiga uang dengan Bobby. Namun, timbul
kenangan masa laluku yang bereaksi gelap hingga proses fotosintesis berlangsung
di stroma pada kloroplas. Hmmm, tak apalah kami jalani dulu masa-masa
persabahatan erat yang aku jalin dengannya. Tapi, yang jelas biologi ini harus
tetap berlanjut sampai kuliahku selesai.
*sekian*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar