Rabu, 28 Maret 2012

Cerpen "FINU" edisi Maret 2012

Biologi Tak Serumit Jalan Cintaku



Asmara  : Buat Cancer yang lagi single mulai merasakan keraguan lagi. Jangan keburu mundur, karena mungkin memang Anda terlalu terpaku pada masa lalu. Rasa takut dan trauma itu sulit untuk Anda lupakan, tetapi jangan sampai membuat Anda jadi ingin sendiri selamanya.

GUBRAKK!!!
“maksudnya apa nih? Kenapa ramalan ini bisa tahu apa yang aku rasakan?” kagetku sampai mendepak genggaman tanganku pada meja kayu di depanku.

Begitu kesan pertamaku saat membaca sebuah majalah sekolah. Hmmm, sangat mengagetkan bukan main. Tepat pada halaman 49, tiba-tiba aku terpaku oleh ketajaman sekumpulan kata yang bertindas hitam beralaskan merah jambu yang seakan menghipnotisku dan membawaku ke alam masa laluku. Memori semanis madu lebah yang berujung pada kepahitan empedu cinta.

Yups! Saat ini aku sedang merasakan dilema akut. Dilema yang berpangkal tercabiknya jantung hati ini berawal dari berpalingnya cinta pertamaku dengan prey yang lain hingga membuatnya mengakhiri simbiosis ini. Sosok penyemangat hidupku itu telah memutuskan rantai percintaanku bersamanya. Sehingga timbul sesuatu di benakku yang membuatku berpikir kalau aku hidup hanya menjadi benalu untuk orang lain bahkan konsumen pertama yang melahap hatiku pun ikut menjauh dariku.

“Kini, apa yang harus kuperbuat? Melupakannya dengan semua kenangan indah bersamanya?” tanyaku dalam hati yang telah tersayat ini. Sungguh, terlalu getir untuk dirasa dan terlalu sayang untuk disirna. Itulah pernyataan yang berkali-kali aku lontarkan lewat mulut bibir yang membisu dan tak kunjung mendapat sanggahan ini sungguh sia-sia. Semakin hari semakin hampa. Tak seorang pun yang mau menemaniku. Hanya dentang detik waktu yang ikut larut dalam setiap saat gundahnya hatiku.

Setiap saat kumerenung dan membayangkan ada sebuah keajaiban alat pemutar waktu untuk mengembalikan masa-masa indahku bersamanya. Tapi, impian itu berhenti semenjak aku melakukan supinasi untuk menerima hasil ulanganku yang tiba-tiba mendepres drastis. Itu semua membuat lengan tanganku berkontraksi, kedua tanganku mengepal dan hatiku berteriak menggelegar, “Aku harus bisa melupakan dia, TITIK!” Siang malam aku berdoa dan berharap semoga Allah mendengarkan misiku dan menuntunku sesuai dengan keinginan hati-Nya.

Pada Jumat siang dengan sengatan matahari yang terhalang oleh awan bercorak hitam, aku bersama beberapa temanku mengikuti pembinaan biologi di sekolah. Disana, kami dihadapkan dengan sebuah studi kasus biologi tentang Plant Kingdom.

“Anak-anak, Bapak punya satu studi kasus seperti ini. Misalkan suatu hari kalian berjalan-jalan ke pegunungan dan dalam perjalanan kalian melihat satu spesies tumbuhan yang belum pernah kalian lihat. Kalian meyakininya tumbuhan itu tergolong Angiospermae. Tapi guru kalian menyatakannya Gymnospermae. Lalu, bagaimana cara kalian untuk menguatkan pendapat kalian tentang hal itu?” ungkap Pak Budi, Guru Biologi yang mengajar kami.
Aku berfikir sejenak lalu salah seorang peserta pembinaan mengacungkan telunjuk tangan kanannya.
“Saya, Pak,” tegasnya dengan penuh keberanian.
“Iya, kamu Bobby,” sahut Pak Budi.
“Dilihat dari bijinya, Pak. Kalau Angiospermae berbiji tertutup sedangkan Gymnospermae berbiji terbuka,” jelas Bobby.
“Bagus. Ada yang mau menambah? Hmm, kalau menurut kamu bagaimana, Bel?” tanya Pak Budi merangsangku.
“Hmmm, menurut saya tumbuhan tersebut bisa dilihat dari bunganya, Pak. Pada Angiospermae memiliki bunga sempurna. Ada benang sari dan putiknya. Sedangkan Gymnospermae memiliki bunga tidak sempurna atau berbentuk stobilus,” uraiku.
Bobby menyanggah dengan nada menjatuhkan pendapatku, “Terbentuknya organisme tumbuhan berawal dari biji. Jadi, sudah jelas dan lebih akurat jika dlihat dari bijinya.”
“Hmmm, kamu lupa? Terbentuknya biji berawal dari proses pembuahan oleh benang sari dan putik yang diawali dengan penyerbukan bunga. Jadi, biji berawal dari bunga. Jelas lebih mudah dideteksi pada bunganya,” sambungku membalikkan keadaan.
“Lalu, setelah biji terbentuk, si bunga akan layu dan gugur. Jadi, bisa saja bukti yang ada hanya biji yang masih menempel pada tangkai bunga,” balas Bobby.
“Walaupun layu dan gugur, itu masih bisa diidentifikasi. Karena struktur bunga tidak berubah. Kecuali kalau benang sari dan putiknya dipetik,” tambahku.

Seisi ruangan layaknya bergema mendengar aku dan Bobby adu mulut. Lalu, Pak Budi menatapkan kedua telapak tangannya berkali-kali dan berucap, “Bobby, Belinda, pendapat kalian berdua bagus. Bapak senang melihat kalian dapat menguatkan pendapat kalian masing-masing. Bapak putuskan kalian yang mewakili sekolah dalam Olimpiade Biologi tingkat propinsi.”
“Apa? Jadi, dari tadi aku dan Bobby diadu oleh Pak Budi,” kesalku dalam hati kecilku.
“Apa, Pak? Partner sama dia. Brrr... males banget,” respon Bobby.
“Siapa juga yang mau pasangan sama kamu?”sindirku.
“Jangan seperti itu, Bobby, Belinda. Ini demi sekolah. Bapak mohon kalian mau bekerja sama,” pinta Pak Budi.
“Iya, Pak,” jawabku bersama Bobby serentak dengan wajah sebal.
Semenjak kejadian itu, aku mencap Bobby sebagai sosok cowok yang paling menyebalkan di dunia ini. Setiap aku bertemu dengannya, semua temanku mendapatkan hiburan gratis kartun “Tom and Jerry” yang nyata dan tidak ada rekayasa.

“The lesson ended for today. See you tomorrow morning with a new learn spirit. Take care on the way home and have a nice day”. Bel pulang sekolah berbunyi. Anak-anak berlalu lalang hendak pulang dengan wajah ceria sambil bersenda gurau. Seperti biasanya, aku menunggu jemputan orang tuaku di halte depan sekolah. Tapi, hingga satu jam kemudian, tak nampak batang hidung ibu atau pun ayahku. Wajah lelah yang tersirat dari sosokku saat ini. Eitz, tiba-tiba ada  motor yang menghampiriku dan pemiliknya berkata, “Ayo cepat naik, aku anterin kamu pulang”
“Apa? Bobby? Mimpi apa aku semalam? Perasaan aku mimpi diajarin sistem Binomial Nomenklatur sama Carolus Linnaeus. Kenapa bisa Bobby yang datang? Pake nawarin ngantar pulang lagi. Huuft, aneh,” bisikku dalam hati.
“Ayo, pake mikir lagi. Cepetan!” paksanya.
“Okelah, kalau kamu maksa,” jawabku sok jual mahal.

Akhirnya, aku pun mau dibonceng Bobby. Di tengah perjalanan, kami mendengar suara adzan Sholat Ashar. Tiba-tiba motor yang aku tumpangi berhenti di depan masjid. Bobby pun berkata, “Ayo sholat dulu.”

“Subhanallah, Bobby sealim itu. Baik pula sama aku.” Hatiku bersenandung tanda tersentuh.
Aku pun segera menginjakkan jari-jari kaki mungil ini ke tempat wudhu wanita. Setelah itu, aku langsung menunaikan Sholat Ashar. Kemudian, perjalanan pulang kembali dilanjutkan. Sesampainya di depan pagar rumahku, aku pun langsung turun. Saat mulutku hendak membuka ucapan terima kasih, Bobby sudah nge-gas kencang. “Beuuh, ya sudah, besok aja kalau ketemu,” pikirku.

Lalu, aku langsung terjun ke kamar mandi. Maklum, aku merasa kantung kemihku sudah penuh. Jadi, hasrat untuk buang air kecil harus dipenuhi biar tidak mengalami ISK (Infeksi Saluran Kemih) atau lebih populer di telinga kita yaitu penyakit Anyang-anyangan. Lalu, akupun berfikir tentang keanehan yang terjadi pada organisme yang bernama latin Bobby Ferdiansyah itu. Sungguh, sesuatu yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Hmmm, timbul sedikit rasa sukaku kepada Bobby.

Keesokan harinya, aku memandang sesosok individu aneh itu di halaman belakang sekolah. Aku mendapatinya sedang asyik menggoreskan pensil HB di atas kertas hampa. Lalu, aku mengeluarkan sesuatu dari mulutku hingga pita suaraku bergetar. Dengan basa-basinya, aku menyapanya dan mengucapkan terima kasih atas kebaikannya kepadaku kemarin. Tapi, apa responnya? Bobby berlagak diam tanpa kata dan makin menikmati tarian pensil HBnya. Saking kesalnya, aku langsung menyambar kertas yang ia pegang. Anehnya lagi, Bobby malah membentakku dan mengusirku. 

Dengan tampang menciutkan mulut, aku pun membalikkan badan. Tapi, peristiwa apa yang terjadi setelah itu? Tak diduga dan tak disangka, untuk kali pertamanya aku mendengar tangisan seorang Bobby. Ia pun bergumam, “Enak tidak jadi anak yang bebas dan bisa melakukan apa saja yang kamu mau?” tanyanya pada Belinda yang manis dan cantik ini.
“Mengapa kamu tanya seperti itu?” sambungku sambil menghampiri Bobby karena pertanyaannya yang menarik itu.
“Apa aku salah jika punya pendapat sendiri tentang masa depanku? Apa aku salah jika aku tidak menuruti apa kemauan ibu dan ayahku?” tanyanya balik dengan mata berkaca-kaca.
“Hmmm, entahlah. Aku belum pernah mengalami situasi seperti itu. Karena orang tuaku tak pernah memaksaku ini itu. Mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing,” jelasku sedikit curcol.
“Pasti seru jadi kamu. Setiap hari terbebas dari kecaman ayah kamu. Sedangkan aku, ayah selalu memaksaku untuk bisa jadi dokter seperti beliau. Jadi, atas dasar itu aku terpaksa masuk dalam pembinaan biologi dan aku harus sukses di mata pelajaran itu. Padahal, kalau boleh jujur aku ingin sekali mendalami bakat seni yang sangat aku gandrungi selama ini , walaupun dengan cara sembunyi-sembunyi seperti ini,” urainya padaku.
“Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Kalau saran aku, kamu sebaiknya jujur sama ayah kamu dan jadilah diri sendiri. Karena cuma kamu yang lebih tahu tentang diri kamu. Oke! Yang sabar ya, Bob!” simpatiku pada Bobby.
“Ya, makasih ya, Bel,” ucap Bobby sambil memaksakan diri untuk mengeluarkan satu senyuman yang ia miliki.

Semenjak peristiwa berbagi kisah itu, aku semakin dekat dengan Bobby. Mulai dari belajar Biologi sampai aku dengannya dihadapkan dengan Olimpiade Biologi tingkat propinsi. Olimpiade berpasangan ini diikuti oleh SMA seantero Propinsi Jawa Timur. Alhamdulillah, aku dan Bobby lolos babak penyisihan sampai semifinal. Di babak final, aku dan Bobby harus berkompetisi dengan SMA RSBI terbeken di Propinsi Jawa Timur. Rasa deg-degan itu pun muncul tapi keberadaan Bobby selalu membuatku optimis. Terima kasih ya, Bob.

Akhirnya, masa yang ditunggu-tunggu terjadi juga. Dewan juri memutuskan kalau pemenangnya adalah lawan petarung dari aku dan Bobby. Huuft, tak apalah. Yang terpenting, kami pulang membawa piala dan uang pula, walaupun hanya juara II. Namun, hal itu adalah mimpi terburuk untuk Bobby. Pantas saja. Setelah menerima piala dan sejumlah uang tunai, ayah Bobby langsung menemuinya dengan ekspresi merah berapi-api dengan kedua tangan mencengkeram pinggang serta kedua alis dielevatorkan. Beliau sangat kecewa dan memarahi Bobby habis-habisan di depan umum. Aku pun tak tega melihat mimik Bobby. Tanpa sadar aku menapakkan kedua kakiku di tempat Bobby dan ayahnya berada. Bibirku pun beradu dengan bibir anak dan ayah itu. Tapi, belum tuntas aku menjelaskan yang sejelas-jelasnya, ibuku langsung menarik tanganku dan menggeretku keluar dari peperangan sampai titik darah penghabisan itu dimana aku tahu siapa nantinya yang akan menjadi korban. Ibuku berkata kalau aku tidak pantas mencampuri urusan orang lain. Memalukan dan takut dipandang sebelah mata oleh mereka. Hmmm, aku hanya bisa bergumam dalam hati, “Yang sabar ya, Bob. Maaf aku tidak bisa membantu kamu.”

Hari berikutnya, aku berjumpa dengan Bobby. Namun, dia tak melirikku sedikit pun. Dia membenciku karena aku terlalu masuk dalam urusan  keluarganya. Dia memutuskan untuk tidak mau berteman lagi dengan aku. Ouw, sungguh malang nasibku. Orang-orang yang aku sayang semuanya membenciku. Hal itu adalah hal yang sangat membebani batin dan pikiranku. Hingga membuatku sakit dan harus merawat inapkan diriku di rumah sakit.

Ternyata dunia begitu sempit. Sampai-sampai dokter yang menanganiku adalah Pak Beni, ayah Bobby. Hmmm, Aku yakin aku bisa menyelesaikan pertikaian yang terjadi tempo kemarin. Mungkin ini adalah kesempatan yang diberikan oleh Allah untukku. Jadi, aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku di sini. Aku harus menuntaskan misiku untuk membantu Bobby.
“Pak Beni,” sapaku.
“Iya. Kamu Belinda kan? Partnernya Bobby waktu olimpiade,” jawab Pak Beni.
“Iya, Pak. Oh ya, bagaimana keadaan saya, Pak? Saya sakit apa?” tanyaku.
“Kamu hanya kecapekan, Bel. Mungkin terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini. Benar, Bel?” kata Pak Beni.
“Iya, Pak. Oh ya, bolehkah saya berbicara sesuatu ke Pak Beni?” tanyaku dengan sedikit gugup.
“Boleh. Silahkan!” ungkap Pak Beni.
“Sebelumnya saya minta maaf jika saya lancang kepada Bapak. Saya ingin meluruskan masalah Bapak dan Bobby. Jujur, saya ingin sekali melihat sahabat saya hidup dalam kebebasan. Dia memiliki bakat yang sangat luar biasa, Pak. Dia memiliki kreativitas yang tinggi. Mungkin dia bisa menjadi seorang arsitek profesional nantinya. Hasil kreasinya sangat memuaskan. Pak Beni boleh mempunyai harapan supaya Bobby bisa meneruskan cita-cita Bapak. Tapi Bapak juga harus mengerti keinginan Bobby. Bobby merasa tertekan dengan apa yang Bapak inginkan. Saya ingin Bobby bisa melakukan apa saja yang dia mau. Bapak hanya tinggal mengawasi apa yang Bobby lakukan. Tidak harus terlalu masuk dalam urusan pribadinya. Saya harap Bapak dapat mencerna kata-kata dari saya,” uraiku
“Terima kasih atas masukannya, Bel. Insya Allah Bapak akan berpikir lagi tentang hal ini. Ya sudah Bapak tinggal dulu. Selamat beristirahat dan jangan lupa obatnya diminum,” saran Pak Beni sambil tergesa-gesa keluar dari kamar opnameku dengan mata berkaca-kaca.

Ternyata tutur kataku dapat menyadarkan Pak Beni akan kekeliruannya selama ini. Beliau pun segera pulang dan memeluk Bobby seerat-eratnya. Beliau berucap, “Bobby, maafkan ayah. Ayah sadar kalau selama ini ayah terlalu memaksakan kehendak ayah padamu. Maafkan ayah juga karena membuatmu malu di depan semua orang. Maafkan ayah, Bob. Ayah janji akan mendukung keinginanmu 100%.”
Dengan ekspresi bingung yang diimbangi dengan hati berbunga-bunga, Bobby mengungkapkan, “Terima kasih, Ayah. Bobby janji tidak akan mengecewakan ayah.”
“Bagus. Itu baru anak ayah. Kamu beruntung punya teman yang sangat baik seperti Belinda. Dia sangat perhatian sama kamu.” Ungkap Pak Beni.
“Apa? Belinda? Maksud ayah?” tanya Bobby penuh tanda tanya.
“Iya. Belinda yang sudah menyadarkan ayah. Dia sangat baik, bukan? Pokoknya, kamu harus berterima kasih padanya. Tapi sekarang dia sedang di rawat di rumah sakit tempat ayah bekerja. Besok ayah akan mengajakmu untuk menjenguknya,” jelas Pak Beni.

Lima belas jam kemudian, Bobby dan Pak Beni tengah berada di ruang rawatku. Mereka berdua mengucapkan banyak terima kasih atas keberanianku dalam mengungkapkan kebenaran yang aku tahu. Aku pun sangat bahagia melihat keharmonisan dari keduanya. Di saat yang bersamaan, kedua orang tuaku bertengger di depan pintu. Mereka pun langsung mengarah kepadaku dan mengkhawatirkan keadaanku. Pak Beni kemudian bercerita dan memujiku dengan banyak kata sehingga membuat ayah dan ibuku tersentuh dan minta maaf padaku karena selama ini mereka kurang memperhatikan aku.

Cukup sudah kebahagiaanku saat ini. Aku sangat bersyukur karena aku bisa menjadi orang yang berguna bagi orang-orang di sekitarku. Aku juga bangga memiliki keberanian yang super dalam memberantas ketidakadilan. Hehehe, narsis dikit.

Semakin hari kesehatanku berangsur pulih dan aku bisa menimba lagi berember-ember ilmu di sekolah. Tak jarang juga aku melihat senyuman dan candaan Bobby yang dilontarkan kepadaku. Aku semakin lengket dengannya hingga suatu hari tanpa diduga seorang Bobby mengungkapkan sebuah perasaan sayangnya padaku. Tahu tidak apa yang dia lakukan? Pastinya udah hafalkan maksudnya? Bobby nembak si cewek imut, Belinda ini. Waoow, gimana ya? Bimbang deh. Ingin rasanya aku menerima karena aku setali tiga uang dengan Bobby. Namun, timbul kenangan masa laluku yang bereaksi gelap hingga proses fotosintesis berlangsung di stroma pada kloroplas. Hmmm, tak apalah kami jalani dulu masa-masa persabahatan erat yang aku jalin dengannya. Tapi, yang jelas biologi ini harus tetap berlanjut sampai kuliahku selesai.

*sekian*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar