Pesan Berharga Dari Sosok Adik Kelas
Sebagian orang pasti mengira bahwa orang yang lebih muda dari mereka belum bisa mengerti arti sebuah kehidupan dan menganggap diri mereka lebih tahu tentang segalanya. Mereka seolah bertindak sebagai pemimpin bagi orang yang lebih muda dengan mengagung-agungkan kemampuan dan ilmu mereka yang tingkatannya lebih tinggi.
Namun, kini aku bukan mereka. Memang dulu aku beranggapan seperti mereka sebelum aku mengenal sosok adik kelas yang memberiku satu arti kehidupan yang sangat menyentuh batinku. Ahmad, nama yang sering dipanggil oleh kawan-kawannya. Di kelasnya, dia dikenal baik, cerdas, dan ramah kepada teman-temannya. Sungguh aku tidak habis pikir, mengapa cowok berusia 14 tahun itu bisa menjadi sosok malaikat yang telah menuntun dan mengubah hidupku menjadi seperti sekarang ini.
Perkenalanku dengannya berawal dari jejaringan “Facebook”. Dimana halaman depannya selalu bertuliskan, “Facebook membantu Anda terhubung dan berbagi dengan orang-orang dalam kehidupan Anda.” Dan berhasillah Facebook mempertemukan aku dengan Ahmad. Awalnya aku mengerti kalau dia adalah adik kelasku. Akan tetapi, raut wajah dan perawakannya masih dalam angan-anganku belaka. Ada yang bilang jelek, keren, culun, playboy, banyak sekali info tentangnya. Namun, aku tidak memperdulikannya. Yang terpenting aku merasa nyaman dengannya.
Seiring dengan berjalannya waktu, aku dan Ahmad semakin dekat layaknya atom yang satu dengan yang lain saling menyatu dalam sebuah materi padat. Dari awal perjumpaanku dengannya melalui Facebook, kemudian saling tukar nomor telepon, sampai tiap siang dan malam tak henti-hentinya aku bercanda tawa bersamanya melalui pesan singkat yaitu SMS.
Hingga suatu hari, tepat pukul 3 sore, disaat aku sedang asyik dengan celotehan Ahmad, tiba-tiba dia berhenti membalas SMS dariku. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Apa mungkin ada tutur kataku yang menyinggung perasaannya. Akan tetapi, aku tidak merasa melakukan itu semua. Aku pun menunggu dan menunggu. Dan 15 menit kemudian, dia kembali menyambung komunikasi dan meminta maaf karena telah membuatku menanti terlalu lama. Alasannya begitu sepele bagiku. Dia mendengar adzan sholat Ashar di masjid di desanya. Hanya itukah alasannya? Tidak! Dia langsung mengambil air wudhu dan kemudian menunaikan sholat Ashar. Hal yang kedengarannya aneh bagiku. Di jaman gila globalisasi seperti sekarang ini, masih ada remaja yang sangat taat beragama seperti Ahmad. Maklum, aku dikenal cewek sok sibuk. Jadi, walaupun aku sedang SMS-an dengan teman dan kemudian mendengar adzan, aku pasti menunda waktu sholat dan lebih berkecimpung di dunia fana. Aku menyadari kalau aku bukan hamba Allah yang taat, baik dan suci di mata-Nya. Aku lebih mudah terhasut oleh bisikan hawa nafsuku sendiri. Kebiasaan lalai sudah mendarah daging dalam tubuhku. Namun, apa mau dikata, kezuhudan bukanlah diriku. Sedikitpun tak ada usaha bagiku untuk memperbaikinya.
Ahmad memang tidak pernah memberiku peringatan bahkan tuntutan untuk melaksanakan sholat tepat waktu. Namun, dia secara tidak langsung menasehatiku melalui tindakannya. Dan hal itu berdurasi setiap hari hingga membuat hatiku luluh oleh ketajaman aksinya. Perlahan, aku malu dengan Ahmad terlebih dengan diriku dan Allah. Aku yang masih muda, masih kuat dan mempunyai banyak waktu, tetapi tidak bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin terutama mengatur waktuku dengan Allah.
Saking tidak kuatnya menahan perasaan malu yang begitu menusuk batinku dan membuatku seakan terpojok layaknya seorang terdakwa yang hendak di sidang tanpa adanya pembelaan, akhirnya suatu hari ketika Ahmad meminta izin untuk melaksanakan sholat Ashar, hatiku pun tergerak untuk mengambil air wudhu dan langsung menuju surau. Di sana, kulantunkan ayat-ayat suci-Nya, kusebut nama-Nya yang agung, dan tetes demi tetes air mataku jatuh menerpa sajadah ketika kubersujud memohon ampun kepada-Nya. Aku menyesal telah menduakan, menigakan, bahkan menyepuluhkan Dia. Sungguh, aku tidak ingin mendapatkan pijarnya api neraka. Tetapi aku juga tak pantas memperoleh kedamaian di surga-Nya. Aku seakan mengucap janji suci untuk mau berusaha memperbaiki akhlak burukku. Aku harus membuang jauh kebiasaan lalai itu. Dan aku harus berupaya untuk meningkatkan kadar kezuhudan dalam diriku. Berkali-kali kata istighfar terucap dari mulut dan hatiku. Sungguh, aku berharap Allah menerima taubatku dan memaafkan segala kekhilafanku. Aku benar-benar menyesal.
Dan aku juga bersyukur telah dikaruniai teman yang spesial seperti Ahmad yang mampu mengubah tingkah lakuku menjadi yang lebih baik. Itulah arti pertemanan dalam kehidupan yang sesungguhnya.
Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar